Bojong – Angka prevalensi stunting Kabupaten Tegal berdasarkan hasil survei status gizi Indonesia (SSGI) naik dari 25,14 persen di tahun 2019 menjadi 28 persen di tahun 2021. Namun dari hasil pengukuran ulang Tim Percepatan dan Penurunan Stunting (TPPS) Kabupaten Tegal di bulan Agustus 2022 lalu bersamaan dengan pelaksanaan Bulan Imunisas Anak Nasional (BIAN), angka sementara prevalensi stuntingnya turun menjadi 17,6 persen.
Hal ini diungkapkan Wakil Bupati Tegal Sabilillah Ardie yang juga menjabat Ketua TPPS Kabupaten Tegal saat berlangsung acara Diseminasi dan Publikasi Stunting serta Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting di Hotel Grand Dian Guci, Rabu (26/10/2022).
Ardie menuturkan, penurunan prevalensi stunting tersebut didasarkan entri data populasi 116.868 balita melalui aplikasi elektronik pencatatan dan pelaporan gizi bebasis masyarakat (e-PPGBM). Dari jumlah tersebut, 101.915 balita atau 87,21 persennya berhasil diketahui tinggi atau panjang badannya dan didapati 17.906 balita atau 17,6 persennya dalam kondisi stunting.
“Angka prevalensi stunting dari populasi balita ini masih sementara dari yang berhasil kita ukur sampai dengan tanggal 10 Oktober 2022 lalu,” kata Ardie.
Dari hasil pengukuran ulang ini didapati lima Puskesmas dengan angka prevalensi stunting tertinggi, yaitu Puskesmas Bojong 30,1 persen, Puskesmas Kalibakung 27,4 persen, Puskesmas Bumijawa 26,2 persen, Puskesmas Margasari 25,7 persen dan Puskesmas Jatibogor 25,2 persen.
Sedangkan lima Puskesmas dengan angka stunting terendah dijumpai pada Puskesmas Pangkah 5,3 persen, Puskesmas Dukuhwaru 9,6 persen, Puskesmas Kaladawa 10,5 persen, Puskesmas Pagerbarang 11,5 persen dan Puskesmas Talang 12,7 persen.
Lebih lanjut Ardie mengakui jika pelaksanaan perbaikan data balita melalui Gebyar Posyandu ini menemui sejumlah kendala, seperti tidak semua ibu bisa datang dan menimbang balitanya di posyandu, sehingga ketersediaan data pengukuran balita di posyandu belum bisa mencapai angka 100 persen dari populasi yang ada.
Kendala berikutnya adalah ketersediaan antropometri sebagai alat ukur yang jumlahnya masih terbatas. Hal ini, lanjut Ardie, bisa saja mempengaruhi hasil pengukuran dan interpretasi status gizi balita sasaran.
“Kita sudah mengupayakan hibah alat antropometri dari Kementerian Kesehatan 100 unit. Sedangkan untuk tahun 2023 sudah diusulkan untuk pengadaannya di posyandu yang belum memiliki antropometri sebanyak 1.503 unit. Sehingga diharapkan semua posyandu bisa memiliki alat ini,” ujarnya.
Ardie pun menekankan jika kasus stunting anak ini tidak ditangani dengan benar akan berdampak pada tingkat kecerdasan, kemampuan kognitif dan kesehatannya yang terganggu. Saat tumbuh dewasa ia akan mudah sakit.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal Ruszaeni menjelaskan salah satu penyebab lahirnya bayi stunting adalah kondisi ibu yang tidak siap hamil. Sehingga ia menekankan pentingnya mengetahui kondisi calon ibu sedari dini, termasuk memeriksakan kesehatannya untuk memastikan terbebas dari anemia.
Sebab, sambung Ruszaeni, permasalahan gizi pada anak usia di bawah usia dua tahun sangat erat kaitannya dengan kondisi kesehatan dan gizi perempuan yang akan menjadi ibu, seperti remaja putri.
“Saat ini di Kabupaten Tegal, persentase remaja putri yang sudah melakukan screening anemia mencapai 1,9 persen dari target rencana kita 90 persen serta remaja putri yang telah mendapat tambah darah sebanyak 65,2 persen,” katanya.
Kebutuhan gizi calon ibu yang sudah terpenuhi semenjak remaja, akan melahirkan generasi yang sehat dan terhindar dari stunting. Sehingga pihaknya pun mendorong agar remaja putri memeriksakan kadar hemoglobin (Hb) dalam sel darah merahnya secara rutin.
“Untuk itu bidan desa harus bisa mengarahkan pemeriksaan ini, terutama pada calon pengantin ataupun pasangan usia subur. Jika kadarnya normal dan kondisinya bagus, maka bagi yang sudah menikah bisa disarankan untuk hamil. Jika kondisinya belum belum normal, diarahkan menunda kehamilannya sembari dilakukan pemulihan,” tandasnya.
Saat di dalam kandungan, kondisi dan perkembangan bayi atau janinnya harus selalu terpantau. Jangan sampai kondisinya under atau di bawah normal. Jika menjumpai ini, maka harus segera diintervensi sampai berat janin kembali normal. Setelah lahirpun, lanjut Ruszaeni, orang tuanya harus tetap melakukan pengukuran panjang atau tinggi badan dan berat bayi, sehingga deteksi dini dapat dilakukan.
“Jangan lupa untuk selalu memantau kondisi bayi sejak dalam kandungan sampai berusia dua tahun, atau seribu hari pertama kehidupan,” pungkas Ruszaeni.
Acara tersebut juga dihadiri oleh Project Management Officer Ditjend Kesmas Kemenkes RI Dakhlan Choeron, dan diikuti oleh perwakilan koordinator penyuluh KB Kecamatan dan Tenaga Pelaksana Gizi atau TPG Puskesmas se-Kabupaten Tegal.(AD/hn)
Discussion about this post