Slawi – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengimbau pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) agar mewaspadai aksi penipuan berkedok investasi ataupun pinjaman online (pinjol) yang ternyata ilegal. Imbauan ini disampaikan Kepala Ekskutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi saat berlangsung acara Edukasi Keuangan bagi Pelaku UMKM di Pendopo Amangkurat, Senin (29/01/2024) pagi.
Menurutnya, literasi atau pemahaman masyarakat akan produk atau layanan keuangan sangat diperlukan agar terlindungi dari jerat investasi bodong ataupun pinjol ilegal. Sebab investasi ilegal seringkali menawarkan imbal hasil yang tinggi. Pun demikian halnya dengan pinjol ilegal juga kerap memberikan kemudahan dalam hal pencairan dananya.
Di hadapan ribuan peserta pelaku UMKM yang hadir secara daring maupun luring, dia menjelaskan pihaknya terus melakukan berbagai upaya untuk memitigasi dan meningkatkan literasi keuangan, literasi digital, inklusi keuangan, dan pendampingan kepada pelaku UMKM.
“Jadi, jangan sampai bapak dan ibu mendapat pembiayaan yang tidak benar dari pinjol-pinjol ilegal karena nanti bunganya akan merepotkan bapak ibu sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut Frederica mengungkapkan pelaku UMKM termasuk klaster yang rentan terpengaruh aksi penipuan karena literasi digitalnya yang belum memadai, disamping akses keuangan dan permodalannya pada lembaga keuangan yang terbatas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan dunia UMKM di tanah air.
“Kita telah membuka akses inklusi keuangan bagi pelaku UMKM dengan menggandeng pelaku jasa keuangan seperti perbankan, Pegadaian, PNM (Permodalan Nasional Madani) dan lain sebagainya,” ujarnya.
Kabupaten Tegal menurutnya merupakan salah satu daerah yang menjadi pelopor sektor UMKM terbaik di Indonesia. Sebab pelaku UMKM di Kabupaten Tegal memiliki kreativitas dan inovasi yang sangat tinggi, ulet, dan pantang menyerah.
“Kabupaten Tegal merupakan cikal bakal UMKM nusantara, dan salah satunya yang menjadi pionir adalah warteg (warung Tegal) yang sudah tersebar di seantero nusantara, bahkan sudah merambah ke luar negeri dengan cita rasa dan menu makanannya yang khas,” ujarnya.
Senada dengan Frederica, Sekretaris Daerah Kabupaten Tegal Amir Makhmud juga menyoroti soal ketimpangan antara literasi keuangan dengan inklusi digital. Literasi keuangan menurutnya merupakan pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan untuk meraih kemakmuran.
Inklusi digital memang banyak memunculkan penyelenggara teknologi finansial (tekfin) legal seperti Shopee PayLater, AkuLaku, AdaKami, ataupun Kredivo. Sehingga dengan itu, mereka yang tidak punya uang sehingga tidak berhasrat membeli sesuatu bisa saja membeli itu karena tergiur penawaran beli barangnya sekarang, bayarnya belakangan.
“Jika konsumen ini tidak punya bekal literasi keuangan yang cukup, maka jatuhnya konsumtif dan mudah terjerat hutang barang atau jasa yang tidak produktif,” ujarnya.
Tidak tertutup kemungkinan, menjamurnya judi slot online merupakan dampak dari kesenjangan antara literasi keuangan dengan inklusi digital. Sebab bisa saja uang yang digunakan untuk bertaruh berasal dari pinjaman ke lembaga tekfin legal.
“Saya titip pesan kepada pelaku UMKM agar lebih berhati-hati dengan ini. Jangan sampai tergiur atau bahkan larut dalam permainan judi yang tidak akan pernah mendatangkan keuntungan. Kalau rugi itu pasti dan tidak sedikit contoh pelaku usaha yang kemudian bangkrut sampai menggadaikan asetnya hanya karena kecanduan judi online,” ujarnya.
Amir pun mendukung diselenggarakannya kegiatan literasi keuangan ini sebagai bekal pengetahuan yang memadai terkait penggunaan teknologi digital secara tepat, benar, dan aman. Tujuannya selain untuk memahami manfaat dan risiko dari setiap penawaran produk dan jasa keuangan, juga bisa terhindar dari hal-hal yang merugikan seperti investasi bodong dan pinjol ilegal.
Data dari Satgas Waspada Investasi, tercatat sejak tahun 2018 hingga 2022, kerugian nasabah akibat penipuan berkedok investasi mencapai Rp16,7 triliun. Tapi meskipun sudah banyak entitas pinjol ilegal dan penipuan berkedok investasi yang berhasil ditutup, mereka tetap saja masih bermunculan.
“Hal ini menunjukkan masih banyaknya masyarakat kita yang baru sekadar mengakses jasa keuangan, tetapi belum betul-betul memahami cara kerja dan risikonya,” pungkasnya. (SA/EW/hn)
Discussion about this post