Pekalongan – Angka stunting Kabupaten Tegal berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) berkurang 5,7 persen poin dari 28 persen di tahun 2021 menjadi 22,3 persen di tahun 2022. Hal ini mengemuka saat Bupati Tegal Umi Azizah menjadi narasumber Forum Koordinasi Percepatan Penurunan Stunting se-Eks Karesidenan Pekalongan di Hotel Santika Pekalongan, Selasa (01/08/2023).
Menurut Umi penanganan stunting merupakan bagian dari upaya besar bangsa Indonesia dalam membangun generasi sehat, cerdas, dan kuat guna mendukung terwujudnya Indonesia Emas, Indonesia Maju yang berdaya saing. Namun demikian, penanganan stunting ini memerlukan konvergensi aksi yang berkelanjutan dan melibatkan peran banyak pihak, terutama pada intervensi sensitif.
“Menangani stunting ini harus dilakukan lewat berbagai cara, daya dan upaya, termasuk memperkuat koordinasi. Tidak hanya di lingkup pemerintahan saja, tapi pentahelix melibatkan elemen masyarakat, komunitas peduli, pelaku usaha, hingga media massa,” kata Umi.
Penanganan stunting di Kabupaten Tegal tidak hanya berfokus pada balita stunting atapun ibu hamil kekurangan energi kronis melalui intervensi gizi spesifik, melainkan juga pencegahannya agar tidak terlahir bayi stunting atau balita menjadi stunting.
Diantaranya, lanjut Umi, dengan menuntaskan kepemilikan jamban keluarga untuk menekan angka kejadian diare dengan mengalokasikan anggaran Rp 21,07 miliar pertahun selama tiga tahun berturut-turut untuk membangun 32.625 unit jamban keluarga sehat.
Atas upaya ini, angka kejadian diare di Kabupaten Tegal turun dari 58.316 kasus di tahun 2014 menjadi 22.100 kasus di tahun 2019. Kabupaten Tegal pun dinyatakan terbebas dari perilaku buang air besar sembarangan atau open defecating free dari Kementerian Kesehatan RI dan berhak atas Anugerah STBM (Sanitasi Total Berbasis Berbasis Masyarakat) Award Berkelanjutan Tahun 2020.
“Penurunan kasus diare ini memiliki relevansi positif terhadap penurunan angka stunting,” tandanya.
Selain itu, upaya lain penanganan stunting melalui intervensi gizi sensitif adalah merehab rumah tidak layak huni (RTLH). Menurutnya, kasus balita stunting dapat berawal dari kondisi lingkungan rumah tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga balita mudah sakit. Jumlah RTLH yang berhasil dipugar sepanjang tahun 2014-2022 mencapai 10.907 unit.
“Upaya ini terlihat berat, tidak mudah. Tapi semuanya akan terasa ringan dan menjadi mudah jika diniati ibadah. Salah satunya mengamalkan surat An-Nisa ayat sembilan (Alquran), hendaklah kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah. Maka penanganan stunting ini termasuk upaya kita mencegah lahirnya generasi lemah yang jika tidak ditangani secara benar dan sungguh-sungguh akan menjadi beban umat di kemudian hari dan persoalan daya saing bangsa di masa depan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Tengah, Eka Sulistia Ediningsih mengungkapkan prevalensi balita stunting secara nasional berhasil diturunkan dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022, termasuk di Jawa Tengah yang juga mengalami penurunan, dari 20,9 persen menjadi 20,8 persen.
“Hal ini berarti masih harus bekerja keras untuk dapat menurunan angka stunting minimal 3,4 persen per tahun agar di tahun 2024, prevalensi stunting Jawa Tengah bisa berada di bawah 14 persen,” kata Eka.
Eka memaparkan, angka stunting beberapa daerah di eks-karesidenan Pekalongan tahun 2022 mengalami kenaikan, diantaranya Kota Pekalongan yang mengalami sedikit kenaikan dari 20,6 persen di tahun 2021 menjadi 23,1 persen di tahun 2022.
Menurutnya, penanganan stunting tidak bisa dilakukan oleh satu pihak seperti BKKBN saja, tapi harus sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan. Karena itu, pihaknya akan terus memperkuat sinergisitas para pihak, termasuk pemerintah daerah di eks Karesidenan Pekalongan.
“Dengan komitmen dan kerja bersama, prevalensi stunting akan dapat kita turunkan. Untuk itu banyak hal yang harus segera diperkuat baik dari sisi tata kelola, layanan intervensi spesifik, maupun pada layanan intervensi sensitif,” pungkasnya. (HR/hn)
Discussion about this post