Slawi – Sekretaris Daerah Kabupaten Tegal Amir Makhmud meminta tenaga pendidik untuk membekali pelajar dengan kecakapan dan kecerdasan baru. Hal tersebut disampaikannya saat berlangsung Forum Perangkat Daerah Penyusunan Rencana Kerja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Tegal Tahun 2025 di Aula Dinas Dikbud, Kamis (29/02/2024).
Menurut Amir, trend kehidupan masyarakat modern saat ini sedang menuju dunia buatan atau artificial living yang semakin terhubung tanpa sekat. Hal ini mendorong banyak perubahan di berbagai sisi yang harus didukung kecakapan, kecerdasan, dan karakter dari anak-anak mudanya yang semakin relevan.
Oleh karena itu, peran dunia pendidikan juga harus mampu menyiapkan peserta didiknya dengan kecerdasan. Kecerdasan yang dibutuhkan ini bukan sekadar kecerdasan intelektual dan sosial emosional, melainkan juga kecerdasan adaptif, eksploratif, dan transformatif.
Sehingga menurutnya, penting bagi guru pendidik dan orangtua agar bisa memahami karakteristik era digital society saat ini. Sebab saat menjelajah di dunia maya atau cyberspace, tanpa disadari akan banyak ditemui kejahatan digital di sana.
Seperti halnya fenomena perilaku menyimpang di kalangan pelajar ataupun remaja, antara lain gaya pacaran yang menjurus pada seks bebas, tawuran, penggunaan narkoba, vandalisme seperti corat coret dinding, judi online, hingga bullying di sekolah yang semuanya adalah alarm adanya pergeseran nilai-nilai agama dan budi pekerti yang diyakini banyak dipengaruhi oleh media sosial.
Amir pun menuturkan persoalan lain di bidang pendidikan adalah anak putus sekolah jika dilihat dari data series tahun 2019-2022 jumlahnya mencapai 6.765 anak, di mana kasus tertinggi dijumpai di Kecamatan Bojong dan Bumijawa.
Terkait hal itu, pihaknya terus berupaya mengintervensi agar anak mau kembali bersekolah melalui gerakan Yuh Sekolah Maning yang dirasa sudah cukup optimal dari sisi alokasi program Kejar Paket A dan B. Meskipun dari sisi partisipasinya baru menjangkau sekitar 50 persen dari yang ditargetkan. Menurutnya memang karena tidak mudah mengajak anak usia sekolah yang putus sekolah untuk kembali bersekolah.
“Harus ada kerja sama yang baik dan intensif dengan banyak pihak, termasuk pemerintah desa untuk mendorong para orangtua agar menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus pendidikan dasar, tidak sebaliknya, mengajak anak-anaknya ikut bekerja membantu orangtua sampai meninggalkan bangku sekolah,” ujarnya.
Selain itu, Amir mengapresiasi rasio guru dan peserta didik yang dinilai sudah ideal. Menurut Permendikbud Nomor 137 Tahun 2014, rasio ideal guru dan peserta didik adalah 1 banding 20. Sementara untuk untuk Kabupaten Tegal sendiri rasionya sudah 1 banding 19.
“Artinya, secara rata-rata, satu orang guru melayani 19 murid. Jika melihat proporsi ini kita sudah mencapai taraf sangat ideal,” kata Amir.
Lebih lanjut dirinya pun menyoroti soal kondisi fisik ruang kelas sekolah dasar (SD) dan meminta Dinas Dikbud untuk merehab secepatnya ruang kelas, terutama yang rusak berat agar segera diperbaiki. “Kalau sudah dialokasikan anggarannya, jangan sampai kualitas hasil pekerjaannya tidak sesuai harapan atau bahkan mangkrak karena pemborongnya wanprestasi,” tandasnya.
Menanggapi ini, Kepala Dinas Dikbud Kabupaten Tegal Fakihurrokhim menuturkan jika pihaknya secara bertahap telah merehab SD yang ada di Kabupaten Tegal. Ia pun menuturkan perlu waktu minimal lima tahun untuk merehab tuntas SD yang ada di Kabupaten Tegal karena alokasi anggarannya yang terbatas.
Selain itu, persoalan lain terkait sertipikat tanah sekolah juga menjadi kendala dalam proses rehabilitasi sekolah. Sebab masih banyak sekolah yang sertipikat tanahnya masih atas nama pemerintah desa, bukan pemerintah daerah.
“Saya minta bagi sekolah-sekolah yang tanahnya masih atas nama pemerintah desa bisa disampaikan ke pemda untuk diusulkan menjadi aset pemerintah daerah. Sepanjang ini belum diubah, tentunya kita tidak bisa menyalurkan dana APBD atau bahkan APBN untuk merehab gedung sekolah,” jelasnya.
Kendala lain yang kerap terjadi, sambung Fakih, soal ketersediaan lahan. Seringkali pihak sekolah mengajukan permintaan penambahan ruang kelas, pembangunan ruang laboratorium hingga toilet tapi mereka tidak memiliki lahan yang cukup. Jika pun tersedia, luasannya tidak ideal untuk dibangun ruang kelas. Sementara untuk pembangunan vertikal dua lantai, pihaknya mengaku keberatan karena biaya konstruksinya besar, tidak sebanding dengan alokasi anggaran yang tersedia. (EW/hn)
Discussion about this post