SLAWI– Seiring dengan penambahan anggaran dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) maka kecenderungan terjadinya kecurangan dalam penggunaan anggaran tersebut semakin besar. Untuk itu perlu adanya pengendalian yang efektif sebagai upaya pencegahan tindakan kecurangan dalam pengelolaan dana desa. Salah satu usahanya yakni dengan meniru konsep BPK dalam laporan keuangan dengan memberikan predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) tingkat desa dari Inspektorat Kabupaten Tegal. Hal ini disampaikan Bupati Tegal, Umi Azizah dalam Rapat Komite Audit Kabupaten Tegal yang bertempat di Aula Inspektorat Kabupaten Tegal, Selasa (3/12).
Menurut Umi, hal tersebut sebagai salah satu usaha pencegahan penyalahgunaan dalam pengelolaan anggaran dari sisi administrasi. Selain ide pemberian penilaian opini WTP tingkat desa, Umi juga menyarankan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam melakukan evaluasi capaian program kegiatan tidak hanya berorientasi pada serapan anggaran saja namun juga pada hasil atau outcome
Sementara itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Tegal, Widodo Joko Mulyono, yang sekaligus sebagai Ketua Komite Audit Kabupaten Tegal menyampaikan bahwasanya dengan jumlah desa sebanyak 281 maka idealnya jumlah auditor sebanyak 76 orang namun saat ini jumlahnya baru 31 orang. Sementara untuk Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah (P2UPD) kebutuhannya 48 orang dan baru tersedia 10 orang. Untuk itu kebutuhan tersebut akan dipenuhi secara bertahap melalui formasi seleksi CPNS dan inpassing jabatan fungsional.
Inspektur Kabupaten Tegal, BK Aribawa menindaklanjuti beban kerja instansinya yang harus melakukan pengawasan terhadap 48 perangkat daerah, 281 desa, 48 SMP, 695 SD dan BUMD maka akan melakukan metode perencanaan pengawasan berbasis risiko. Terkait permintaan Bupati Tegal agar melakukan pengendalian dan pengawasan pengelolaan anggaran sampai dengan tingkat desa, maka pihaknya akan bekerja sama dengan akuntan publik.
“Bagaimana teknis penganggaran dan pelaksanaannya akan kami rumuskan dengan beberapa instansi terkait seperti Bappeda dan Litbang, BPKAD dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa” jelasnya.
Aribawa juga menyampaikan saat ini pihaknya melihat profil resiko laporan pengelolaan anggaran desa melalui aplikasi sistem keuangan desa (Siskeudes). Namun ada kendala melalui sistem tersebut karena sistem tersebut belum bersifat daring. Untuk itu, dirinya sedang mengusahakan agar sistem tersebut bisa bersifat daring sehingga APIP bisa menganalisis desa mana yang mempunyai profil resiko tinggi. “Target kita tahun ini, paling tidak awal tahun 2020 sudah bisa online” pungkasnya.
Discussion about this post