Margasari – Diduga kuat ada pelanggaran izin, spot lahan milik tiga perusahaan pemanfaat limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagai bahan pembakaran batu gamping di Desa Karangdawa Kecamatan Margasari dipasang PPLH line oleh tim Penegakan Hukum (Gakum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hari Rabu (11/3) kemarin. Ketiga perusahaan dimaksud adalah PT. Sido Biso, PT. Sido Urip dan PT. Kharisma Jaya Mandiri. Pemasangan pita pembatas ini menandakan delineasi lahan tersebut saat ini berada dalam pengawasan tim Gakum KLHK.
Sebelumnya, tim Gakum KLHK yang terdiri dari lima tim pengawas ini melakukan pemeriksaan di lima perusahaan sejak Senin (9/3) lalu. Pengambilan sampel tersebut tidak hanya dilakukan di lingkungan perusahaan saja, tapi juga di area luar yang diduga tercemar limbah B3, termasuk kawasan permukiman sekitar. Informasi ini diperoleh dari hasil wawancara reporter Humas Pemkab Tegal dengan Kepala Seksi Wilayah II Subdirektorat Penyidikan Pencemaran Lingkungan Hidup KLHK Mugi Wibowo di lokasi pemeriksaan.
Mugi menjelaskan pemasangan PPLH line oleh pihaknya ini merupakan prosedur standar setelah melihat adanya indikasi kuat adanya pengelolaan limbah B3 oleh perusahaan yang tidak sesuai prosedur. “Artinya ada timbunan limbah B3, termasuk residu sisa pembakaran yang seharusnya tidak dipaparkan di lahan terbuka seperti ini yang meskipun atasnya sudah dicor oleh pemiliknya, kami bisa tahu”, katanya.
Residu sisa pembakaran limbah B3 yang berupa material padat itu, lanjut Mugi, harus diolah lagi oleh perusahaan lain yang memiliki spesifikasi izin usaha pengolahan ini. “Jadi residu tersebut tidak boleh dibuang sembarangan begitu saja”, ujarnya.
Soal rencana pasca pemasangan PPLH line, Mugi mengungkapkan akan ada tim lain yang menindaklanjuti temuan awal tersebut dan menghitungnya secara rinci total volume tanah yang tercemar, termasuk air tanahnya. Mugi pun menuturkan, rencananya besok, atau Kamis (12/3) hari ini, ada tim pemulihan KLHK yang akan meninjau kawasan ini. “Karena tanah kalau sudah tercemar limbah B3 harus dipulihkan dan biayanya tentu tidak murah karena tanahnya harus digali sampai kedalaman tertentu dimana cemaran itu sudah tidak kita jumpai. Pemulihan tanah galian yang tercemar B3 ini hanya boleh dilakukan perusahaan yang berizin”, katanya.
Ditanya soal kewajiban pemulihan lahan tersebut, Mugi menuturkan jika itu di lingkungan perusahaan, maka menjadi tanggung jawab pemilik usaha. Sementara yang di luar perusahaan sampai dengan saat ini masih dalam proses pendalaman. “Disini setidaknya ada tiga kontributor yaitu perusahaan, perorangan pemilik tobong dan transporter atau pemilik usaha yang memegang izin pengangkutan limbah B3”, ujarnya.
Di akhir wawancara, Mugi menambahkan, meskipun ada lahannya yang dipasang PPLH line, perusahaan tetap bisa beraktifitas seperti biasa, hanya lahan yang diberi pembatas pita berwarna kuning tersebut tidak boleh ada orang yang menyentuhnya. Mugi menerangkan, rekomendasi hasil pengawasan timnya ini akan menjadi materi yang harus ditindaklanjuti perusahaan dan itu bisa berupa sanksi administrasi, mulai dari yang terendah berupa teguran tertulis hingga pencabutan izin. “Jika dalam jangka waktu tertentu tidak diindahkan, maka akan dilimpahkan prosesnya ke penindakan yang lebih berorientasi pada penjatuhan sanksi pidana”, katanya.
Discussion about this post